Minggu, 25 Agustus 2013




doc. Google.com

Ini jalanku Ayah,Bunda. Aku hanya meminta satu hal saja,restui dan ridhoi langkah yang kutempuh ini. Aku ingin buktikan pada Ayah dan Bunda jika langkahku ini pasti akan menghasilkan keberhasilan. “Keridhoan Allah itu terletak  pada keridhoan kedua orangtua”
            “ Selamat sore pemirsa,bertemu lagi bersama saya Cahya Avicena dalam Warta Berita Sore”. Kalimat yang tak akan asing lagi dalam benak dan pikirku,kalimat yang selalu kuucapkan bila telah tiba waktuku untuk menyiarkan berita pada masyarakat Indonesia.
Tak pernah sebelumnya terbayang olehku,bila aku akan selalu hadir di layar televisi seperti saat ini. Yang terbayang olehku dahulunya,dengan mengenakan baju putih kebangsaan para Dokter kuemban tugas sosial kemanusiaan, stetoskop terlingkar di leher sebagai tanda profesiku saat itu,dalam pelayanan kuberikan senyuman terhangat  pada para pasienku.  
Jangankan bayangan lama,sebuah nama yang diberikan oleh ayah dan bunda padaku menjadi sebuah pikiran tersendiri padaku sejak aku mengetahui bahwa “Avicena” adalah seorang tokoh penemu ilmu kesehatan. Bahkan saat profesi jurnalis telah kugenggam beban pikiran itu tak pernah mampu kuhapus.
Ya, itu hanyalah seputaran permainan daya khayal masa kecilku dulu. Semakin bertambah usiaku semakin kutakut menggapai cita-cita menjadi seorang Dokter penolong,entah kenapa itu terjadi. Harus kuakui,aku cukup memberikan tamparan yang keras pada kedua orangtuaku.
Orangtua mana yang tak ingin melihat anaknya sukses,mengharumkan nama keluarga dengan bersandangkan gelar Dokter. Itu prinsip kedua orangtuaku,namun tidak berlaku untukku. Banyak cara selain menjadi Dokter untuk mengharumkan nama keluarga,aku punya cara tersendiri menggambarkan itu semua Ayah,Bunda.  
            **********************************************************
Ini sudah ketiga kalinya aku mengikuti tes perguruan tinggi. Namun tak kunjung membuahkan hasil yang dapat kubanggakan. Aku benar-benar telah mempermalukan kedua orangtuaku dan aku akan tetap kukuh dengan pendirianku. Jujur rasa malu  telah bergelayut dibahuku ini,aku malu pada teman,orangtua dan keluargaku.  Lagi-lagi secuil hati kecilku ini memberikan rasa percaya diri dan optimis untuk tetap menjalani segala ujian ini. Benar-benar ujian yang amat berat bagiku,melebihi Ujian Nasional yang baru usai beberapa minggu yang lalu kutempuh.  
Hari ini,aku akan mendaftar mengikuti tes perguruan tinggi yang keempat kalinya segala usaha dan do’a telah kucurahkan, ini semua kehendak yang kuasa aku cukup berpikir positif dan terus menjalani ini semua.  Bersama Rindu,kunikmati waktu bersama dengannya dan menjauh dari bayangan ketakutan bila aku ternyata tidak lulus kembali pada tes keempat kalinya ini.
“ Bagaimana Cahya,kamu akan mengikuti tes keempat kalinya ini? “ tanya Rindu Sahabat setiaku dan benar-benar setia. Ia telah lulus tes perguruan tinggi pada tes pertama dan ia dengan setianya selalu menemaniku kapanpun saat aku menjalani tes perguruan tinggi. Aku beruntung memilikimu Rindu Safira
“ Tentu Rindu,aku tak punya pilihan lain selain tetap mengikuti tes yang keempat kalinya ini” jawabku padanya,sejenak aku terdiam. “ Rindu,apakah aku salah tidak mengikuti kehendak kedua orangtuaku sehingga membuatku tak kunjung lulus pada tes perguruan tinggi ini” tanyaku padanya.
“ Astaga Cahya,apa yang kau katakan. Orangtua pasti akan menyetujui apapun kehendak anaknya” jawab Rindu. Aku tahu ia pasti sedikit kesal karena aku mempertanyakan yang bukan-bukan padanya.
“ Aku tahu Rindu,namun cobalah kau lihat” ucapanku terputus,sedikit mencoba menetralkan suasana yang mulai memanas ini. “ Kau lihatlah Rindu  hingga kini aku tak kunjung lulus dalam tes. Kau telah lulus dari seleksi pertama tentu kau tak merasakan bagaimana bila kau di posisiku saat ini”  dan kali ini tangisku pecah,aku benar-benar tak tahan.  
Emosi dan kesedihanku memuncak. Rindu memelukku,membiarkan aku menangis dalam dekapannya. Kulepaskan semua emosi dan kesedihanku ini dengan uraian airmata ini. Rindu tak menanggapi sikapku ini,ia hanya membelai lembut kepalaku yang terselubungi oleh jibab putih yang kukenakan. Ia membiarkanku membasahi pasmina kuning yang ia kenakan.
Tak kupedulikan orang disekitarku yang berada di cafe ini,aku benar-benar marah dan sedih. Mau berkata apa mereka terserah mereka yang kuinginkan saat ini hanya satu,aku ingin lulus perguruan tinggi itu saja.
********************************************************
Dua hari lagi,aku akan menjalani tes perguruan tinggi keempat kalinya. Awalnya kepalaku ini rasanya ingin pecah dan meledak. Kenapa tidak, beratus-ratus kali telah kuulang soal-soal yang terdapat di buku panduan ini.  
Sebelum tidur,kusempatkan sejenak mengirim pesan kepada kedua orangtuaku di Bengkalis. Ya sejak merantau ke kota Pekanbaru setamat dari sekolah dasar membuatku selalu berjauhan dari kedua orangtuaku. Bersama kesunyian malam,perlahan airmataku ini memberikan belaian lembut pada pipiku,jujur hatiku ini rapuh aku butuh sandaran. Sambil terus mengetikkan pesan di ponsel untuk kusampaikan kegundahanku malam ini pada mereka.
Assalamualaikum. Bunda bagaimana kabarmu? Sehat saja bukan. Nda dua hari lagi Cahya akan mengikuti tes perguruan tinggi,do’ain Cahya Nda,Yah. Cahya mohon do’a restu dari Bunda dan Ayah agar tes Cahya kali ini membuahkan hasil. Cahya tak bermaksud mempermalukan Bunda dan Ayah karena hingga kini,Cahya belum juga lulus pada tes perguruan tinggi. Cahaya mohon Nda,Yah restui dan ridhoi langkah yang Cahya tempuh ini. Wassalam.
Pesan dikirim.
                        *******************************************
“ Kamu siap untuk tes pagi ini Ca ? “ suara Rindu membuyarkan lamunanku pagi itu.
“ Ya,siap tidak siap pastinya aku akan siap Rindu” jawabku. Kurapikan segala perlengkapan tes yang kuperlukan.
Rindu akan mengantarkanku tes pagi ini,sepanjang perjalanan segala cara dilakukannya untuk menghiburku dan aku hanya berusaha tersenyum. Kusempatkan sejenak menggoreskan tinta pena Pooh yang kumiliki di buku harian ungu yang selalu setia menemani hari-hariku,selain Rindu tentunya.
Ini jalanku Nda,Yah. Aku hanya meminta satu hal saja,restui dan ridhoi langkah yang kutempuh ini. Aku ingin buktikan pada Ayah dan Bunda jika langkahku ini pasti akan menghasilkan keberhasilan. “ Ridhollahha waridho walidaini”.
Apapun hasil pada tes yang kuikuti kali ini,aku ikhlas dan pasrah. Namun pikiran positif tetap ada pada diriku. Aku ingat jelas pesan kedua orangtuaku pagi ini,sebelum aku berangkat tes,mereka menghubungiku dengan maksud berusaha mencoba menghiburku.
“ Ayah tahu nak,menjadi Dokter itu hanya mimpi masa kecilmu dulu. Bila memang kamu merasa tak mampu menjalani itu,Ayah dan Bunda ikhlas dan ridho apapun pilihan yang kamu inginkan nak. Hanya satu pesan kami,bila kamu memilih jalanmu sendiri buktikan pada kami hasil dari jalan yang kamu pilih itu” ucap ayah dan membuatku tak mampu membendung rasa haru ini. Akhirnya kedua orangtuaku memberikanku jalan untuk merintis jalanku sendiri.
Aku janji Yah,Nda. Aku pasti akan buat kalian bangga,percayalah padaku. Apapun akan kulakukan asal itu membuat kalian tersenyum dan kalian selalu membakar semangatku ini.
            ********************************************
“ Bagaimana kabarmu hari ini Nak? Sehat sajakan. Ayah lihat wajahmu sedikit kurang sehat sore ini saat siaran” tanya Ayah. Setelah makan malam Ayah selalu menghubungiku. Jelas saja,sekarang aku tinggal lebih jauh dari mereka,tentu mereka menjadi semakin rindu padaku. Anaknya yang cukup keras kepala ini.
“ Oh,tidak Yah. Itu hanya penglihatan Ayah saja. Aku sehat saja hari ini,Ayah lebih mempercayai wajahku di siarankah dari pada  langsung dari anakmu ini ?” aku balik bertanya pada Ayah.
“ Hoo,tidak Cahya. Tentu saja Ayah percaya padamu sayang. Tidakkah kamu rindu pada kami di sini Nak ? Rindu dan Bundamu menitip salam untukmu” . ucap Ayah kembali.
Wah tentu saja aku merindukan kalian semua. Aku rindu Ayah,Bunda,Ddikku dan khususnya sahabat sejatiku Rindu. Meski berjauhan kami tetap selalu saling merindu seperti namanya yang membuatku selalu merindukannya.  
Kupuaskan bertukar cerita pada Ayah malam ini,kukisahkan bagaimana keseharianku di sini. Menjadi seorang jurnalis yang kuidam-idamkan. Semangatku selalu terbakar bila bertukar cerita dengan Ayah dan Bundaku. Aku bangga pada mereka,meski aku sempat kecewa dan marah pada mereka. Aku memvonis mereka yang membuatku tak kunjung lulus pada tes perguruan tinggiku.
Namun Tuhan sang Kuasa memiliki beribu masalah yang diberikan pada hambanya dan sang Kuasa pula yang memberikan hambanya akal pikiran serta kesabaran bagi hambanya agar mampu menyelesaikan masalahnya itu.
Yah,Nda. Maafkan aku karena tak mampu membuatmu tersenyum dengan mengenakan baju putih kebangsaan para dokter. Kumiliki cara tersendiri untuk membuatmu tersenyum dan bangga padaku. Maafkan aku karena sempat marah dan memberontak padamu,tapi ini semua karena aku yakin aku sedang mendewasakann diriku ini. Salam hangat dan rindu untuk keluargaku di Riau.
                                                                                    Jakarta Selatan,2013.


Anisha Hakim, terbit via Xpresi Riaupos,Minggu 25 Agustus 2013 

Ceritanya Nisa . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates