Kamis, 09 Oktober 2014




Doc. Ceritanya Nisa

Zapin adalah khazanah tarian rumpun Melayu yang menghibur sekaligus sarat pesan agama dan pendidikan. Tari ini memiliki kaidah dan aturan yang tidak boleh diubah namun dari masa ke masa namun keindahannya tak lekang begitu saja. Nikmati dendang musik dan syairnya yang legit bak sajian megah langit biru dan jernihnya laut di Kepulauan Riau.  
Saban hari,azan subuh barulah usai berkumandang. Sedari tadipun ayam telah bertugas membangunkan para majikannya,berkokok melantunkan lirik-lirik yang hanya dipahami oleh bangsa ayam. Terdengar suara mak yang memanggil kami satu persatu anak-anaknya yang berjumlah tiga orang,nampaknya mak tak ingin kalah oleh ayam yang sedari tadi telah bangun dan bergegas memasuki kamar kami satu persatu.
“ Boy,Zapin,Harun lekas bangun nak. Tak malu ke dengan ayam yang sedari tadi dah asek berkokok tu.” Melayu khas yang dimiliki mak terdengar jelas ditelingaku,suara seorang penyanyi melayu yang pernah membesarkan nama Bengkalis dahulunya. Mak mulai menarik selimut kami satu persatu. Tinggal di rumah kecil yang hanya memiliki satu kamar mengharuskan kami tidur sekamar berempat bahkan terkadang mak hanya tidur di kursi rotan di ruang depan.
Usai menarik selimut kami satu persatu mak bergegas keluar kamar dan mempersiapkan perlengkapannya untuk bekerja di pagi hari. Kebun karet tak jauh di belakang rumah itulah tanah peninggalan yang diberikan bapak pada kami sebelum ia meninggal dunia. Kebun karet menjadi ladang pekerjaan bagi mak selama ini,sedang bang Boy bekerja menoreh getah di ladang wak Kaham bekas bos bapak  yang menjadi orang terkaya di kampung.
Menjadi anak perempuan satu-satunya di rumah mengharuskanku menggantikan posisi mak di rumah. Bila sedari pagi mak telah bekerja menoreh di kebun,maka akulah yang bertugas membersihkan rumah kami ini dan menyiapkan sarapan adikku Harun sebelum berangkat ke sekolah. Bukan hanya Harun,aku sendiri Zapin gadis berusia 16 tahun masih menjadi murid di Sekolah Menengah Atas (SMA) di Pulau Bengkalis ini. Membersihkan rumah,kemudian menyiapkan sarapan dan bergegas ke sekolah itulah tugas Zapin,seorang gadis Penari melayu dari Pulau Bengkalis.   
***
“ Festival Tari Zapin Internasional” terpampang jelas di depan Stadion Madya Sempaja,Samarinda. Berulang kali kubaca tulisan yang terpampang di depan mataku ini,benarkah ini aku Zapin,gadis Bengkalis yang ikut serta dalam Festival Internasional. Terbayang olehku wajah mak,bang Boy,Harun akankah mereka merasakan bagaimana senangnya hatiku ikut serta dalam festival ini.
Perlahan pipiku basah,aku menangis mak,aku menangis. Sekarang aku paham kenapa bapak memberiku nama Zapin. Mak ingin aku bisa membawa nama Melayu sebagai kebudayaan yang tak ada habisnya. Ada sedikit rasa penyesalan yang terselip di hati kecilku,kenapa dulu aku malu dan marah di sekolah bila teman sekolah mengolokku sebagai anak pemain Gambus. Gambus,salah satu musik tradisional Melayu yang membesarkan nama bapak dan mak sebelum akhirnya mak dan bapak bekerja menoreh di kebun karet.
Lamunanku pecah,Kinara dan teman-teman lainnya menarik tanganku agar bergegas masuk ke Stadion Madya,lokasi Festival Tari Melayu yang kami ikuti. Hari ini kami akan mengikuti pembukaan Acara Festival,berjalan perlahan aku dan teman-teman mencari lokasi duduk kami peserta Festival dari Riau.
Festival Tari Zapin Internasional yang diikuti oleh banyak negara serumpun atau sedaratan termasuk Riau yang berbudayakan melayu ini semakin ramai oleh para peserta dan orang-orang penting dan berpengaruh dalam Tarian Zapin. Dari tadi,pompa jantungku tak juga teratur. Rasa tidak percaya yang besar masih tersus menyelimuti hatiku. Padahal sedari tadi rangkaian acara Festival telah di mulai,namun kesadaranku belum juga menyatu. Kinara perlahan berbisik padaku,
“ Kamu tentu bangga memiliki nama Zapin,bukan ?”
Aku terdiam,merasakan antara bingung dan bangga. Zapin,nama yang tidak asing lagi di Indonesia ini apalagi di tanah Melayu. Zapin menjadi tarian tradisional suku Melayu. Tarian yang berasal dari tanah Arab,yang dahulunya menjadi hiburan bagi bangsawan dan keluarga istana. Perlahan dibawa oleh saudagar kaya dari Negeri Johor hingga masuk dan berkembang di sekitar wilayah Johor sampai ke Riau tepatnya lagi di Bengkalis yang terletak tidak jauh dari negara Malaysia yang juga mayoritasny Melayu.
“ Kin,nama aku beneran Zapin kan? “ aku balik bertanya pada Kinara.
“ Iya,nama kamu Zapin Puteri. Ibu dan ayahmu pasti orang-orang hebat Za sehingga memberimu nama Zapin”. Jawab Kinara.
Masih lurus menatap ke depan,di panggung acara disebalah podium,mataku tertuju hanya di situ. Sepasang patung penari Zapin Melayu terlihat indah tersinari oleh pancaran lampu-lampu di ruangan ini.  
“ Za,ini bukan kamu yang biasanya. Ada apa dengan kamu? “ Lagi Kinara bertanya padaku.
Pikiranku kembali pada usiaku 6 tahun,saat aku masih menjadi murid di Sekolah Dasar Negeri 01 di Bengkalis.
***
Zapin,aku dendangkan lagu melayu” nada asal-asalan suara teman-temanku terdengar jelas ditelingaku. Itulah realita anak Sekolah Dasar yang tak akan berhenti mengolok-ngolok temannya yang memiliki nama aneh yang tak biasa di telinga mereka.
“ Zapin,nampaknya mak kau kehabisan kata-kata ya untuk memberimu nama yang cantik” ujar temanku yang lain.
Tak kugubris olok-olokan mereka,saat ini yang bisa kulakukan hanya duduk diam di bangku, menangis menutup wajahku yang basah oleh airmata dan berharap semoga mereka lekas pergi dari hadapanku dan tidak mengolokku lagi.
Awak semue ni asek nak ganggu Zapin terus,sekarang pergi semue !! “ bentak seseorang. Itu suara bang Boy,tangisku perlahan reda. Bang boy menghampiriku,membelai lembut rambutku yang terikat satu keatas persis seperti ekor kuda.
Za,jangan menangis lagi ee. Mereka semue dah abang usir sekarang tak payahlah engkau nangis macam tu. Duh,ilanglah lawanye adik abang ni.” Bang Boy berusaha menghiburku dengan rayuannya.
Kuusap airmataku,kuperhatikan sekeliling kelas. Tidak ada satupun siswa di ruangan kecuali aku dan bang Boy.  Tampaknya mereka semua kabur ketakutan saat bang Boy membentak mereka. Tentu saja mereka takut,bang Boy saat ini siswa kelas 6 SD tentu kami yang masih kelas 2 SD sangat ketakutan saat senior seperti bang Boy marah pada kami.
Za tak nangis lagi do. Makasi abang dah tolong Za” Ucapku pada bang Boy seraya memeluknya. Selama ini bang boy lah pahlwan penolongku bila aku di olok oleh teman-temanku. Dalam hati aku masih merasa marah kenapa bapak dan mak yang memberi namaku “Zapin”,padahal mereka penyanyi dan pemain Gambus di kampungku kenapa tidak memberiku nama yang cantik dan kenapa harus Zapin!.
Setiap hari,sudah menjadi langganan bagiku bila aku di olok-olok oleh teman-teman maka bang Boy lah yang akan menjadi penyelamatku atau aku akan berlari pulang ke rumah meminta pertolongan dari abangku.
Hari itu,seperti biasa kami anak-anak perempuan sedang bermain masak-masak tak jauh dari rumah. Anak laki-laki yang sedang bermain bola mulai mengganggu kami yang sedang asyik bermain. Tak lain dan tak bukan tentu aku yang akan menjadi bahan olokan mereka. Awalnya kubiarkan mereka terus mengolokku,lambat laun aku semakin tidak tahan dengan ucapan mereka. Lari !,itu hal yang pertama terbayang olehku. Tentu tanpa menunggu olokan dari mereka yang semakin pedas,aku bergegas lari menuju rumah, langkah seribu kuambil untuk menghindara suara-suara olokan teman-temanku itu.
Ada suasana yang tak seperti biasanya di rumahku,kenapa siang itu banyak sekali warga yang berkumpul di rumah. Semakin mendekat,terdengar olehku suara mak menangis,beribu pikiran terbayang olehku. Ntah bang Boy sakit atau mungkin mak terluka sepulang dari kebun atau ntahlah aku tak mau mengandai-ngandai lagi. Bergegas aku berlari mendekati pintu rumah,menyelinap di antara warga-warga yang memenuhi pintu rumahku.
Siapa itu yang diselimuti kain batik panjang,bang boy kah? Atau mak? Atau?
“ Za,kemari nak kemari”. Mak mennagis tersedu-sedu mengayunkan tangannya ingin meraihku.
Bang boy tampak menangis di pelukan wak Mahat,adik bapakku. Lalu siapa yang tertutup kain panjang,ataukah itu bapak?
“ Za,bapak engkau kecelakaan waktu nak pergi main gambus ke kampung sebelah nak”. ujar mak.
Pikiranku mulai membaca keadaan secara perlahan. Anak usia 6 tahun yang mendengar bapaknya meninggal,masih merasakan kebingungan. Aku harus menangis tersedu seperti mak atau aku hanya diam mematung di depan pintu ini. Bapak,orang yang memberiku nama Zapin ketika aku dilahirkan. Bapak pernah bilang padaku nama Zapin diberikannya agar kelak aku menjadi penari Melayu Zapin dan tetap menjaga budaya Melayu di negeri ini. Namun,nama Zapin jugalah yang membuat aku menjadi bahan olok-olokan teman-teman di sekolahku.
Ada sedikit rasa penyesalan di hatiku,tapi tampaknya rasa sakit hati lebih besar yang kurasa untuk saat ini. Bapak telah meninggal dunia dengan meninggalkan aku dan bang Boy masih masih sangat kecil dan mengharuskan mak menjadi tulang punggung di keluarga kami. Tak hanya itu,nama Zapin pun akan terus menempel didiriku untuk selamanya dan itu berarti aku akan terus diolok-olok oleh teman-temanku selanjutnya.
***
Samarinda,2015
Hari ini,hari kedua kami mengikuti rangkaian acara Festival Tari Zapin Internasional. Senyuman mulai terlukis di wajahku,rasa penyesalan yang besar telah kusampaikan pada mak semalam. Menelpon mak di rumah dan mengatakan rasa maaf yang sebesarnya,15 tahun berlalu setelah bapak meninggal baru aku menyatakan rasa maaf karena telah membenci  bapak yang telah memberiku nama Zapin,sungguh berdosa hambamu ini Tuhan. Ampunilah kesalahan hamba selama ini dan berikanlah tempat di sisimu untuk bapakku di sana.
Siang ini,aku,kinara dan teman-teman akan menampilkan tarian Zapin kami. Menjadi peserta dengan urutan pertama membuat kami harus siap dengan penampilan yang terbaik dan semaksimal mungkin. Tarian Zapin tradisional yang kami bawakan telah kami persiapkan selama tiga bulan ini,ini bukanlhj perjalanan yang mudah untuk bisa mengikuti festival ini. Semuanya telah kukorbankan,waktu belajarku,waktu bermain dengan teman bahkan waktu untuk berkomunikasi dengan mak,bang Boy dan Harun pun berkurang karena aku harus rutin berlatih.
Melanjutkan pendidikan jauh dari mak membuat rasa rindu acap kali menghampiri. Tapi justru mak lah motivator terbaikku,mak mengizinkan ku untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Indonesia di Fakultas seni dan Ilmu Budaya. Dan berkat kampusku lah aku dapat mengikuti seleksi festival tari Zapin hingga akhirnya dapat ikut serta di festival ini.
Penampilan akan dimulai,tarian Zapin Tangliu[1] akan kami bawakan. Sebuah tarian Zapin tradisional yang diilhamkan dari para nelayan yang sering turun ke laut dan menari di atas kapalnya dengan mengikuti arus ombak. Kami akan menari seolah-olah kami adalah para nelayan yang menari sambil memegang tali kapal dengan mengikuti alunan musik ombak di lautan. Aku semakin menikmati tarian yang kubawakan,terbayang olehku wajah bapak,mak,bang Boy dan Harun. Aku pasti bisa memenangkan festival ini membawa bangga nama kampungku juga keluargaku. Saat ini aku tak lagi malu menjadi gadis yang bernama Zapin lebih lengkapnya Zapin Puteri. Aku bangga menjadi anak dari pemain Gambus dan penyanyi Melayu di kampung,aku bangga menjadi anak kepulauan Melayu dan aku bangga bisa membawa budayaku di kancah Internasional. Tarianpun usai,terhias wajah kegembiraan dan senyuman bangga dari kami semua,para putera Riau yang membawakan Zapin Melayu dalam festival Internasional.
***
Hari ini,terkahir kami berada di Samarinda. Malam ini pengumuman festival akan di gelar,berharap usaha tiga bulan kami selama ini tidak sia-sia dalam mempersiapkan diri ikut serta dalam festival ini. Festival Tari Zapin Internasional inilah makna yang nama yang diberikan oleh ayahku. Rasa malu dan kesal sempat bersarang didiriku,aku malu memiliki nama yang kampungan,aku takut dengan namaku ini aku tidak bisa bergaul dengan teman-temanku,takut tidak bisa mendapatkan pekerjaan dan lainnya. Rasa takut sudah terlalu menghantui diriku,namun itulah makna dari sebuah nama. Bapak memberiku nama “Zapin” agar kelak aku dapat membanggakan tarian Melayu menjadi sebuah seni yang dapat diterima oleh masyarakat.
Bapak pasti tak sembarang pilih memberiku nama Zapin,dan mulai saat ini aku akan membanggakan seni ini di manapun aku berada. Tepat saat akan kuraih air minum yang terletak di atas meja di depanku sanggar tari kami di sebut sebagai tarian Zapin tradisional terbaik dan berhak ikut serta dalam festival tarian Zapin di Brunei tahun depan. Tuhan,mimpi apa aku semalam. Sontak kami berteriak senang karena usaha kami selama ini tidak sia-sia. Bu Andin,selaku pelatih kami maju ke depan untuk menerima penghargaan. Tak hanya itu,kami di persilahkan untuk menampilkan tarian Zapin kembali di panggung dengan dilihat oleh berjuta pasang mata yang hadir di ruangan malam itu.
“ Zapin adalah khazanah tarian rumpun Melayu yang menghibur sekaligus sarat pesan agama dan pendidikan. Tari ini memiliki kaidah dan aturan yang tidak boleh diubah namun dari masa ke masa namun keindahannya tak lekang begitu saja. Nikmati dendang musik dan syairnya yang legit bak sajian megah langit biru dan jernihnya laut di Kepulauan Riau. Saksikanlah penampilan dari juara terbaik tarian Zapin tradisional kita”
Saat akan bersiap-siap menaiki panggung,tanpa kusadari tanganku mengaun sendiri meraih handphone di saku tasku,kulihat panggilan dari Harun tiga kali tak terjawab olehku. Kucoba menelpon Harun kembali.
“ Kak,mak meninggal. Lekas kakak balek dari festival tu ee “
Yang aku tahu,saat itu rasanya kakiku tak menapaki lantai keramik ruangan lagi,terlihat di depan pandanganku ada mak dan bapak yang tersenyum bahagia kemudian semuanya gelap.(Ah)
                                                         



[1] Tarian zapin yang berasal dari Mersing.

Ceritanya Nisa . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates