[CERPEN] NAMAKU ZAPIN
Doc. Ceritanya Nisa |
Zapin adalah khazanah tarian rumpun Melayu yang menghibur sekaligus sarat pesan agama dan pendidikan. Tari ini memiliki kaidah dan aturan yang tidak boleh diubah namun dari masa ke masa namun keindahannya tak lekang begitu saja. Nikmati dendang musik dan syairnya yang legit bak sajian megah langit biru dan jernihnya laut di Kepulauan Riau.
Saban
hari,azan subuh barulah usai berkumandang. Sedari tadipun ayam telah bertugas
membangunkan para majikannya,berkokok melantunkan lirik-lirik yang hanya
dipahami oleh bangsa ayam. Terdengar suara mak yang memanggil kami satu persatu
anak-anaknya yang berjumlah tiga orang,nampaknya mak tak ingin kalah oleh ayam
yang sedari tadi telah bangun dan bergegas memasuki kamar kami satu persatu.
“
Boy,Zapin,Harun lekas bangun nak. Tak malu
ke dengan ayam yang sedari tadi dah asek berkokok tu.” Melayu khas yang
dimiliki mak terdengar jelas ditelingaku,suara seorang penyanyi melayu yang
pernah membesarkan nama Bengkalis dahulunya. Mak mulai menarik selimut kami
satu persatu. Tinggal di rumah kecil yang hanya memiliki satu kamar
mengharuskan kami tidur sekamar berempat bahkan terkadang mak hanya tidur di
kursi rotan di ruang depan.
Usai
menarik selimut kami satu persatu mak bergegas keluar kamar dan mempersiapkan
perlengkapannya untuk bekerja di pagi hari. Kebun karet tak jauh di belakang
rumah itulah tanah peninggalan yang diberikan bapak pada kami sebelum ia
meninggal dunia. Kebun karet menjadi ladang pekerjaan bagi mak selama
ini,sedang bang Boy bekerja menoreh
getah di ladang wak Kaham bekas bos
bapak yang menjadi orang terkaya di kampung.
Menjadi
anak perempuan satu-satunya di rumah mengharuskanku menggantikan posisi mak di
rumah. Bila sedari pagi mak telah bekerja menoreh di kebun,maka akulah yang
bertugas membersihkan rumah kami ini dan menyiapkan sarapan adikku Harun
sebelum berangkat ke sekolah. Bukan hanya Harun,aku sendiri Zapin gadis berusia
16 tahun masih menjadi murid di Sekolah Menengah Atas (SMA) di Pulau Bengkalis
ini. Membersihkan rumah,kemudian menyiapkan sarapan dan bergegas ke sekolah
itulah tugas Zapin,seorang gadis Penari melayu dari Pulau Bengkalis.
***
“
Festival Tari Zapin Internasional” terpampang jelas di depan Stadion Madya
Sempaja,Samarinda. Berulang kali kubaca tulisan yang terpampang di depan mataku
ini,benarkah ini aku Zapin,gadis Bengkalis yang ikut serta dalam Festival
Internasional. Terbayang olehku wajah mak,bang Boy,Harun akankah mereka
merasakan bagaimana senangnya hatiku ikut serta dalam festival ini.
Perlahan
pipiku basah,aku menangis mak,aku menangis. Sekarang aku paham kenapa bapak
memberiku nama Zapin. Mak ingin aku bisa membawa nama Melayu sebagai kebudayaan
yang tak ada habisnya. Ada sedikit rasa penyesalan yang terselip di hati
kecilku,kenapa dulu aku malu dan marah di sekolah bila teman sekolah mengolokku
sebagai anak pemain Gambus. Gambus,salah satu musik tradisional Melayu yang
membesarkan nama bapak dan mak sebelum akhirnya mak dan bapak bekerja menoreh di kebun karet.
Lamunanku
pecah,Kinara dan teman-teman lainnya menarik tanganku agar bergegas masuk ke
Stadion Madya,lokasi Festival Tari Melayu yang kami ikuti. Hari ini kami akan
mengikuti pembukaan Acara Festival,berjalan perlahan aku dan teman-teman mencari
lokasi duduk kami peserta Festival dari Riau.
Festival
Tari Zapin Internasional yang diikuti oleh banyak negara serumpun atau
sedaratan termasuk Riau yang berbudayakan melayu ini semakin ramai oleh para
peserta dan orang-orang penting dan berpengaruh dalam Tarian Zapin. Dari
tadi,pompa jantungku tak juga teratur. Rasa tidak percaya yang besar masih
tersus menyelimuti hatiku. Padahal sedari tadi rangkaian acara Festival telah
di mulai,namun kesadaranku belum juga menyatu. Kinara perlahan berbisik padaku,
“
Kamu tentu bangga memiliki nama Zapin,bukan ?”
Aku
terdiam,merasakan antara bingung dan bangga. Zapin,nama yang tidak asing lagi
di Indonesia ini apalagi di tanah Melayu. Zapin menjadi tarian tradisional suku
Melayu. Tarian yang berasal dari tanah Arab,yang dahulunya menjadi hiburan bagi
bangsawan dan keluarga istana. Perlahan dibawa oleh saudagar kaya dari Negeri
Johor hingga masuk dan berkembang di sekitar wilayah Johor sampai ke Riau
tepatnya lagi di Bengkalis yang terletak tidak jauh dari negara Malaysia yang
juga mayoritasny Melayu.
“
Kin,nama aku beneran Zapin kan? “ aku balik bertanya pada Kinara.
“
Iya,nama kamu Zapin Puteri. Ibu dan ayahmu pasti orang-orang hebat Za sehingga
memberimu nama Zapin”. Jawab Kinara.
Masih
lurus menatap ke depan,di panggung acara disebalah podium,mataku tertuju hanya
di situ. Sepasang patung penari Zapin Melayu terlihat indah tersinari oleh
pancaran lampu-lampu di ruangan ini.
“
Za,ini bukan kamu yang biasanya. Ada apa dengan kamu? “ Lagi Kinara bertanya
padaku.
Pikiranku
kembali pada usiaku 6 tahun,saat aku masih menjadi murid di Sekolah Dasar
Negeri 01 di Bengkalis.
***
“
Zapin,aku dendangkan lagu melayu” nada
asal-asalan suara teman-temanku terdengar jelas ditelingaku. Itulah realita
anak Sekolah Dasar yang tak akan berhenti mengolok-ngolok temannya yang
memiliki nama aneh yang tak biasa di telinga mereka.
“
Zapin,nampaknya mak kau kehabisan kata-kata ya untuk memberimu nama yang
cantik” ujar temanku yang lain.
Tak
kugubris olok-olokan mereka,saat ini yang bisa kulakukan hanya duduk diam di
bangku, menangis menutup wajahku yang basah oleh airmata dan berharap semoga
mereka lekas pergi dari hadapanku dan tidak mengolokku lagi.
“
Awak semue ni asek nak ganggu Zapin
terus,sekarang pergi semue !! “ bentak seseorang. Itu suara bang
Boy,tangisku perlahan reda. Bang boy menghampiriku,membelai lembut rambutku
yang terikat satu keatas persis seperti ekor kuda.
“
Za,jangan menangis lagi ee. Mereka semue
dah abang usir sekarang tak payahlah engkau nangis macam tu. Duh,ilanglah
lawanye adik abang ni.” Bang Boy berusaha menghiburku dengan rayuannya.
Kuusap
airmataku,kuperhatikan sekeliling kelas. Tidak ada satupun siswa di ruangan
kecuali aku dan bang Boy. Tampaknya
mereka semua kabur ketakutan saat bang Boy membentak mereka. Tentu saja mereka takut,bang
Boy saat ini siswa kelas 6 SD tentu kami yang masih kelas 2 SD sangat ketakutan
saat senior seperti bang Boy marah pada kami.
“
Za tak nangis lagi do. Makasi abang dah
tolong Za” Ucapku pada bang Boy seraya memeluknya. Selama ini bang boy lah
pahlwan penolongku bila aku di olok oleh teman-temanku. Dalam hati aku masih
merasa marah kenapa bapak dan mak yang memberi namaku “Zapin”,padahal mereka
penyanyi dan pemain Gambus di kampungku kenapa tidak memberiku nama yang cantik
dan kenapa harus Zapin!.
Setiap
hari,sudah menjadi langganan bagiku bila aku di olok-olok oleh teman-teman maka
bang Boy lah yang akan menjadi penyelamatku atau aku akan berlari pulang ke
rumah meminta pertolongan dari abangku.
Hari
itu,seperti biasa kami anak-anak perempuan sedang bermain masak-masak tak jauh
dari rumah. Anak laki-laki yang sedang bermain bola mulai mengganggu kami yang
sedang asyik bermain. Tak lain dan tak bukan tentu aku yang akan menjadi bahan
olokan mereka. Awalnya kubiarkan mereka terus mengolokku,lambat laun aku
semakin tidak tahan dengan ucapan mereka. Lari !,itu hal yang pertama terbayang
olehku. Tentu tanpa menunggu olokan dari mereka yang semakin pedas,aku bergegas
lari menuju rumah, langkah seribu kuambil untuk menghindara suara-suara olokan
teman-temanku itu.
Ada
suasana yang tak seperti biasanya di rumahku,kenapa siang itu banyak sekali warga
yang berkumpul di rumah. Semakin mendekat,terdengar olehku suara mak
menangis,beribu pikiran terbayang olehku. Ntah bang Boy sakit atau mungkin mak
terluka sepulang dari kebun atau ntahlah aku tak mau mengandai-ngandai lagi.
Bergegas aku berlari mendekati pintu rumah,menyelinap di antara warga-warga
yang memenuhi pintu rumahku.
Siapa
itu yang diselimuti kain batik panjang,bang boy kah? Atau mak? Atau?
“
Za,kemari nak kemari”. Mak mennagis tersedu-sedu mengayunkan tangannya ingin
meraihku.
Bang
boy tampak menangis di pelukan wak
Mahat,adik bapakku. Lalu siapa yang tertutup kain panjang,ataukah itu bapak?
“
Za,bapak engkau kecelakaan waktu nak pergi main gambus ke kampung sebelah nak”.
ujar mak.
Pikiranku
mulai membaca keadaan secara perlahan. Anak usia 6 tahun yang mendengar
bapaknya meninggal,masih merasakan kebingungan. Aku harus menangis tersedu
seperti mak atau aku hanya diam mematung di depan pintu ini. Bapak,orang yang
memberiku nama Zapin ketika aku dilahirkan. Bapak pernah bilang padaku nama Zapin
diberikannya agar kelak aku menjadi penari Melayu Zapin dan tetap menjaga
budaya Melayu di negeri ini. Namun,nama Zapin jugalah yang membuat aku menjadi
bahan olok-olokan teman-teman di sekolahku.
Ada
sedikit rasa penyesalan di hatiku,tapi tampaknya rasa sakit hati lebih besar
yang kurasa untuk saat ini. Bapak telah meninggal dunia dengan meninggalkan aku
dan bang Boy masih masih sangat kecil dan mengharuskan mak menjadi tulang
punggung di keluarga kami. Tak hanya itu,nama Zapin pun akan terus menempel
didiriku untuk selamanya dan itu berarti aku akan terus diolok-olok oleh
teman-temanku selanjutnya.
***
Samarinda,2015
Hari
ini,hari kedua kami mengikuti rangkaian acara Festival Tari Zapin
Internasional. Senyuman mulai terlukis di wajahku,rasa penyesalan yang besar
telah kusampaikan pada mak semalam. Menelpon mak di rumah dan mengatakan rasa
maaf yang sebesarnya,15 tahun berlalu setelah bapak meninggal baru aku
menyatakan rasa maaf karena telah membenci bapak yang telah memberiku nama Zapin,sungguh
berdosa hambamu ini Tuhan. Ampunilah kesalahan hamba selama ini dan berikanlah
tempat di sisimu untuk bapakku di sana.
Siang
ini,aku,kinara dan teman-teman akan menampilkan tarian Zapin kami. Menjadi
peserta dengan urutan pertama membuat kami harus siap dengan penampilan yang
terbaik dan semaksimal mungkin. Tarian Zapin tradisional yang kami bawakan
telah kami persiapkan selama tiga bulan ini,ini bukanlhj perjalanan yang mudah
untuk bisa mengikuti festival ini. Semuanya telah kukorbankan,waktu
belajarku,waktu bermain dengan teman bahkan waktu untuk berkomunikasi dengan
mak,bang Boy dan Harun pun berkurang karena aku harus rutin berlatih.
Melanjutkan
pendidikan jauh dari mak membuat rasa rindu acap kali menghampiri. Tapi justru
mak lah motivator terbaikku,mak mengizinkan ku untuk melanjutkan pendidikan di
Universitas Indonesia di Fakultas seni dan Ilmu Budaya. Dan berkat kampusku lah
aku dapat mengikuti seleksi festival tari Zapin hingga akhirnya dapat ikut
serta di festival ini.
Penampilan
akan dimulai,tarian Zapin Tangliu[1]
akan kami bawakan. Sebuah tarian Zapin tradisional yang diilhamkan dari para
nelayan yang sering turun ke laut dan menari di atas kapalnya dengan mengikuti
arus ombak. Kami akan menari seolah-olah kami adalah para nelayan yang menari
sambil memegang tali kapal dengan mengikuti alunan musik ombak di lautan. Aku
semakin menikmati tarian yang kubawakan,terbayang olehku wajah bapak,mak,bang
Boy dan Harun. Aku pasti bisa memenangkan festival ini membawa bangga nama
kampungku juga keluargaku. Saat ini aku tak lagi malu menjadi gadis yang
bernama Zapin lebih lengkapnya Zapin Puteri. Aku bangga menjadi anak dari
pemain Gambus dan penyanyi Melayu di kampung,aku bangga menjadi anak kepulauan
Melayu dan aku bangga bisa membawa budayaku di kancah Internasional. Tarianpun
usai,terhias wajah kegembiraan dan senyuman bangga dari kami semua,para putera
Riau yang membawakan Zapin Melayu dalam festival Internasional.
***
Hari
ini,terkahir kami berada di Samarinda. Malam ini pengumuman festival akan di gelar,berharap
usaha tiga bulan kami selama ini tidak sia-sia dalam mempersiapkan diri ikut
serta dalam festival ini. Festival Tari Zapin Internasional inilah makna yang
nama yang diberikan oleh ayahku. Rasa malu dan kesal sempat bersarang
didiriku,aku malu memiliki nama yang kampungan,aku takut dengan namaku ini aku
tidak bisa bergaul dengan teman-temanku,takut tidak bisa mendapatkan pekerjaan
dan lainnya. Rasa takut sudah terlalu menghantui diriku,namun itulah makna dari
sebuah nama. Bapak memberiku nama “Zapin” agar kelak aku dapat membanggakan
tarian Melayu menjadi sebuah seni yang dapat diterima oleh masyarakat.
Bapak
pasti tak sembarang pilih memberiku nama Zapin,dan mulai saat ini aku akan
membanggakan seni ini di manapun aku berada. Tepat saat akan kuraih air minum
yang terletak di atas meja di depanku sanggar tari kami di sebut sebagai tarian
Zapin tradisional terbaik dan berhak ikut serta dalam festival tarian Zapin di
Brunei tahun depan. Tuhan,mimpi apa aku semalam. Sontak kami berteriak senang
karena usaha kami selama ini tidak sia-sia. Bu Andin,selaku pelatih kami maju
ke depan untuk menerima penghargaan. Tak hanya itu,kami di persilahkan untuk
menampilkan tarian Zapin kembali di panggung dengan dilihat oleh berjuta pasang
mata yang hadir di ruangan malam itu.
“ Zapin adalah khazanah
tarian rumpun Melayu yang menghibur sekaligus sarat pesan agama dan pendidikan.
Tari ini memiliki kaidah dan aturan yang tidak boleh diubah namun dari masa ke
masa namun keindahannya tak lekang begitu saja. Nikmati dendang musik dan
syairnya yang legit bak sajian megah langit biru dan jernihnya laut di
Kepulauan Riau. Saksikanlah penampilan dari juara terbaik tarian Zapin
tradisional kita”
Saat akan bersiap-siap
menaiki panggung,tanpa kusadari tanganku mengaun sendiri meraih handphone di
saku tasku,kulihat panggilan dari Harun tiga kali tak terjawab olehku. Kucoba
menelpon Harun kembali.
“ Kak,mak meninggal. Lekas kakak balek dari festival tu ee “
Yang
aku tahu,saat itu rasanya kakiku tak menapaki lantai keramik ruangan lagi,terlihat
di depan pandanganku ada mak dan bapak yang tersenyum bahagia kemudian semuanya
gelap.(Ah)